Thursday, December 5, 2013

Api Telah Mati

Seperti jarum menusuk jantung
Membakar ari mentari hari ini
Lalu senandungmu pecahkan bising yang bisu

Langkah kakimu kecil berlalu
Lelah yang resah hempaskan mimpi indah
Lemah kau berbisik "Tuhan, mimpiku bukan yang ini"
keluhmu

Sejuta asa di benakmu
Berhamburan bak debu-debu
Letih yang ringkih rajai hati
Di dadamu api telah mati

Gambar dari sini

Belatiku

belatiku tumpul sudah
segerombolan karat mencolok bola matanya
lalu menginfeksi syarafnya
sampai sesiung prakarsa pun tak mampu di irisnya

  Gambar dari sini

Doa dan Rindu untuk Sahabatku


Untukmu
Wewangian kasturi merebaki
Angin lembut doa-doa membelai mengasihi
Sungai-sungai jernih yang dingin dengan hangat memelukmu

***
Ingin sekali bertemu atau setidaknya mengirimi surat rindu yang menjejal jantungku. Sekedar untuk bersenda tentang waktu-waktu yang sebelum ia memutusmu dengan tanpa memberikan kesempatan bernegosiasi sedikitpun kepadaku. Sekedar untuk membunuh sunyi dengan tawa yang sempat menyesakkan angin. Ingin sekali menyentuh kembali jemari hangat yang pernah menyodorkan secangkir persahabatan dengan air putih yang terdestilasi. Sekedar untuk meraba lagi ketulusan yang senantiasa tak pernah absen di garis-garis sunggingan senyummu. Sekedar untuk menghabiskan seteguk masa labil yang masih tersisa di gelas usia ini. Sungguh ingin sekali...
 ***

Untukmu 
Berharap di sana peluk-Nya senantiasa

______
untuk Muhidin, sahabat baikku di alam sana, semoga cinta-Nya selalu mendekapmu hangat.


Monday, December 2, 2013

Sajak Secangkir Kopi Pahit Kemaren Pagi

Kau cangkir yang pula berisi peti mati, peti bagi si miskin yang kecekik belati, belati yang dihujamkan si tukang kopi, yang tikamannya merenggut nyawa gula.
Kopi simpul menyaksikan itu drama.
Kau gula yang manisnya terbunuh obsesi, obsesi yang tepatnya dinamai birahi, birahi yang dilampiaskan si tukang kopi, pada bubuk-bubuk yang lalu menganak bayi.
Kopi lantas menyusui.
Kau kopi yang ditebar disekujur keranda gula. Hingga pahitmu mematuk nyawa si jenaka

   Gambar dari sini

Sunday, December 1, 2013

Pohon

Asal kau tahu saja, aku yang mengunyah matahari itu
untuk menyambung hidupmu. Aku pula yang mencincang
karbon dioksida untuk memuaskan hidungmu yang rakus.
Tanah itu aku yang mencacahnya untuk mengenyangkan
perut buncitmu.
Tapi kau acuh meski jasadku menjelma abu

                                                gambar dari sini